Bagaimana Hukum Islam Soal Jual-Beli Saham dalam Pasar Modal?
09.04
Bisnis
,
Fiqih
,
Jual-Beli
,
Muamalah
,
Obligasi
,
Perusahaan
,
Reksadana
,
Saham
,
Syirkah
,
Waran
Tatkala umat Muslim hidup dalam Negara bersistem Khilafah, berbagai muamalah
mereka selalu berada dalam timbangan syariah (halal-haram). Khalifah
Umar bin al-Khaththab, contohnya. Beliau tidak mengizinkan pedagang manapun
masuk ke pasar kaum Muslim kecuali jika mereka telah memahami hukum-hukum
muamalah. Tujuannya supaya pedagang itu tidak terjerumus ke
dalam dosa riba. (As-Salus, Mawsû‘ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’âshirah, hlm. 461).
Tapi, saat Khilafah hancur pada tahun 1924, kondisinya berubah total! Kaum Muslim
makin terjerumus dalam sistem ekonomi yang dipaksakan penjajah kafir,
yakni sistem Kapitalisme yang memang tidak mengenal halal-haram.
Ini
karena akar sistem Kapitalisme adalah paham sekularisme yang
menyingkirkan agama sebagai pengatur kehidupan publik, termasuk
kehidupan ekonomi.
Walhasil,
seperti kata as-Salus, kaum Muslim akhirnya hidup dalam sistem ekonomi
yang jauh dari Islam, seperti sistem perbankan dan pasar modal (burshah al-awraq al-maliyah) (Ibid., hlm. 464). Tulisan ini bertujuan menjelaskan fakta dan hukum seputar saham dan pasar modal dalam tinjauan fiqih Islam.
Sebenarnya, Apa itu Saham?
Saham
bukan fakta yang berdiri sendiri, tapi terkait dengan pasar modal
sebagai tempat perdagangannya dan juga terkait dengan perusahaan publik
(perseroan terbatas/PT) sebagai pihak yang menerbitkannya.
Saham
merupakan salah satu alat pasar modal (stock market). Dalam pasar modal, alat yang diperdagangkan adalah surat-surat berharga (securities) seperti saham dan obligasi, serta berbagai instrumen turunannya (derivatif) yaitu opsi, right, waran, dan reksadana. Surat-surat berharga yang bisa diperjual-belikan inilah yang disebut efek (Hasan, 1996).
Saham itu surat
berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perusahaan yang
menerbitkan saham tersebut. Dalam Keppres RI No. 60 tahun 1988 tentang
Pasar Modal, saham didefinisikan sebagai, “Surat
berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perseroan terbatas (PT)
sebagaimana yang diatur pada KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau
Staatbald No. 23 Tahun 1847).” (Junaedi, 1990).
Adapun obligasi (bonds, as-sanadat)
adalah bukti pengakuan utang dari perusahaan (emiten) kepada para
pemegang obligasi yang bersangkutan (Siahaan & Manurung, 2006).
Selain terhubung dengan pasar modal, saham juga terhubung dengan PT (perseroan terbatas, limited company)
sebagai pihak yang mempublishnya. Dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas pasal 1 ayat 1, perseroan terbatas didefinisikan
sebagai, “Badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang
mengerjakan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham”. Modal dasar yang dimaksud terdiri atas seluruh nilai
nominal saham (Ibid., pasal 24 ayat 1)
Definisi
lain mengatakan, perseroan terbatas adalah badan usaha yang mempunyai
kekayaan, hak, serta kewajiban sendiri yang terpisah dari kekayaan, hak
dan kewajiban para pendiri maupun pemiliknya (M. Fuad, et.al.,
2000).
Jadi, sesuai namanya, keterlibatan dan tanggung jawab para
pemilik PT hanya terbatas pada saham yang dimilikinya saja. Perseroan terbatas
sendiri juga mempunyai hubungan dengan bursa efek. Kaitannya, kalau sebuah
perseroan terbatas sudah menerbitkan sahamnya untuk publik (go public) di bursa efek, maka perseroan itu dikatakan telah menjadi “perseroan terbatas terbuka” (Tbk).
Sebenarnya, Apa itu Pasar Modal?
Pasar modal adalah sebuah tempat modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal (pihak investor) dan orang yang membutuhkan modal (pihak issuer/emiten)
untuk mengembangkan investasi.
Dalam Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 tahun 1995,
pasar modal didefinisikan sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan
penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan
dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan efek.” (Muttaqin, 2003).
Para pelaku pasar modal ini jumlahnya ada 6 (enam) pihak, yaitu:
1. Emiten. Adalah badan usaha (perseroan terbatas) yang menerbitkan saham untuk
menambahkan modal, atau menerbitkan obligasi untuk menerima hutang dari
para investor di Bursa Efek.
2. Perantara Emisi, yang meliputi 3 (tiga) pihak: a. Penjamin Emisi (underwriter),
yaitu: perusahaan perantara yang menjaminkan penjualan emisi, dalam artian, kalau saham atau obligasi belum laku, penjamin emisi harus membeli, supaya
kebutuhan dana yang diperlukan emiten terpenuhi sesuai rencana; b.
Akuntan Publik, yaitu pihak yang fungsinya memeriksa kondisi keuangan
emiten dan memberikan pendapat apakah laporan keuangan yang telah
dikeluarkan oleh emiten wajar atau tidak. c. Perusahaan Penilai (appraisal), yaitu perusahaan yang berfungsi untuk memberikan penilaian pada emiten, apakah nilai aktiva emiten wajar atau tidak wajar.
3. Badan Pelaksana Pasar Modal, yaitu badan yang mengatur dan mengawasi jalannya pasar modal, termasuk mencoret emiten (delisting)
dari lantai bursa dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang
melanggar peraturan pasar modal. Di Indonesia Badan Pelaksana Pasar
Modal adalah BAPEPAM (Badan Pengawas dan Pelaksana Pasar Modal) yang
merupakan lembaga pemerintah di bawah Menteri Keuangan.
4. Bursa Efek, yakni tempat
diselenggarakannya kegiatan perdagangan efek pasar modal yang didirikan
oleh suatu badan usaha. Di Indonesia ada dua Bursa Efek, yaitu
Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang dikelola PT Bursa Efek Jakarta dan Bursa
Efek Surabaya (BES) yang dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.
5. Perantara
Perdagangan Efek, yaitu makelar (pialang/broker) dan komisioner yang
hanya lewat kedua lembaga itulah efek dalam bursa boleh ditransaksikan.
Makelar adalah perusahaan pialang (broker) yang melakukan pembelian dan
penjualan efek untuk kepentingan orang lain dengan memperoleh imbalan.
Adapun komisioner adalah pihak yang melakukan pembelian dan penjualan
efek untuk kepentingan sendiri atau untuk orang lain dengan memperoleh
imbalan.
6. Investor,
yaitu pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk efek di bursa efek
dengan membeli ataupun menjual kembali efek tersebut (Junaedi, 1990;
Muttaqin, 2003; Syahatah & Fayyadh, 2004).
Dalam pasar modal, proses perdagangan efek (saham dan obligasi) terjadi melalui tahapan pasar perdana (primary market), kemudian pasar sekunder (secondary market).
Pasar perdana adalah penjualan perdana saham dan obligasi oleh emiten kepada para investor, yang terjadi ketika IPO (Initial Public Offering) atau penawaran umum pertama. Kedua pihak yang saling memerlukan ini tidak bertemu secara fisik dalam bursa, namun melalui pihak perantara seperti dijelaskan di atas. Dari penjualan saham dan efek di pasar perdana inilah pihak emiten memperoleh dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya.
Adapun pasar sekunder adalah pasar yang terjadi ketika atau setelah pasar perdana berakhir. Maksudnya, setelah saham dan obligasi dibeli investor dari emiten, investor tersebut lalu menjual kembali saham dan obligasi kepada investor lainnya, baik dengan tujuan mengambil profit dari kenaikan harga (capital gain) maupun untuk menghindari kerugian (capital loss). Perdagangan di pasar sekunder inilah yang secara reguler terjadi di bursa efek setiap harinya.
Jual-Beli (Bisnis) Saham dalam Pasar Modal Menurut Islam
Para ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang terkait dengan babi; jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi; industri hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno; dan sebagainya.
Dalil-dalil yang mengharamkan jual-beli (bisnis) saham perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut. (Syahatah dan Fayyadh, Bursa Efek: Tuntunan Islam dalam Transaksi di Pasar Modal, hlm. 18; Yusuf as-Sabatin, Al-Buyû‘ al-Qadîmah wa al-Mu‘âshirah wa al-Burshat al-Mahalliyyah wa ad-Duwaliyyah, hlm. 109).
Namun, jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha halal (misalnya di bidang transportasi, telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya) Syahatah dan Fayyadh berkata, “Menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar‘. Dalil-dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah semua dalil yang menunjukkan bolehnya melakukan aktivitas tersebut.” (Syahatah dan Fayyadh, Ibid., hlm. 17).
Namun demikian, ada fukaha yang tetap mengharamkan jual-beli saham walau dari perusahaan yang bidang usahanya halal. Mereka ini, misalnya, Taqiyuddin an-Nabhani (2004), Yusuf as-Sabatin (Ibid., hlm. 109) dan Ali as-Salus (Mawsû‘ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu‘âshirah, hlm. 465).
Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (Perseroan Terbatas/PT) yang sesungguhnya tidak Islami. Maka, sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan yang Islami (syirkah Islâmiyah) atau tidak.
Aspek inilah yang nampaknya benar-benar diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar ekonomi Islam sekarang ini. Terbukti, mereka tidak menyinggung sama sekali aspek yang pentig ini. Perhatian mereka lebih tertuju pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), serta berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti transaksi spot (kontan di tempat), transaksi option, transaksi trading on margin, dan sebagainya (Junaedi, 1990; Zuhdi, 1993; Hasan, 1996; az-Zuhaili, 1996; al-Mushlih & ash-Shawi, 2004; Syahatah & Fayyadh, 2004).
Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi (2004) menegaskan bahwa perseroan terbatas (PT, syirkah musâhamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah), karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam.
Kebatilannya antara lain karena dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah. Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya.
Tidak adanya ijab-kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar‘i. Sangat fatal, bukan?
Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya halal) adalah lebih kuat (râjih), karena lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya yang menyangkut bentuk badan usaha (PT).
Apalagi sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham—asalkan bidang usaha perusahaannya halal—adalah al-Mashâlih al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin (Ibid., hlm. 53). Padahal menurut Taqiyuddin an-Nabhani, al-Mashâlih al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena ke-hujjah-annya tidak dilandaskan pada dalil yang qath‘i (Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/437).
Kebatilannya antara lain karena dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah. Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya.
Tidak adanya ijab-kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar‘i. Sangat fatal, bukan?
Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya halal) adalah lebih kuat (râjih), karena lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya yang menyangkut bentuk badan usaha (PT).
Apalagi sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham—asalkan bidang usaha perusahaannya halal—adalah al-Mashâlih al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin (Ibid., hlm. 53). Padahal menurut Taqiyuddin an-Nabhani, al-Mashâlih al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena ke-hujjah-annya tidak dilandaskan pada dalil yang qath‘i (Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/437).
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [KH M. Shiddiq al-Jawi]
Daftar Pustaka
Al-Mushlih, Abdullah & Ash-Shawi, Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Mâ Lâ Yasa’u at-Tâjir Jahlah), Penerjemah Abu Umar Basyir. Jakarta Darul Haq, 2004.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm. Beirut: Darul Ummah, Cetakan VI, 2004.
As-Sabatin, Yusuf Ahmad Mahmud, Al-Buyû‘ al-Qadîmah wa al-Mu‘âshirah wa al-Burshat al-Mahalliyyah wa ad-Duwaliyyah. Beirut: Darul Bayariq, 2002.
As-Salus, Ali Ahmad, Mawsû‘ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu‘âshirah wa al-Iqtishâd al-Islâmi. Qatar: Daruts Tsaqafah, 2006.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IX (Al-Mustadrak). Damaskus: Darul Fikr, 1996.
Fuad, M, et.al., Pengantar Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
Junaedi, Pasar Modal Dalam Pandangan Hukum Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Muttaqin, Hidayatullah, Telaah Kritis Pasar Modal Syariah, http://www.e-syariah.org/jurnal/?p=11, 20 des 2003.
Siahaan, Hinsa Pardomuan & Manurung, Adler Haymans, Aktiva Derivatif: Pasar Uang, Pasar Modal, Pasar Komoditi, dan Indeks. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2006.
Syahatah, Husein & Fayyadh, Athiyah, Bursa Efek: Tuntunan Islam dalam Transaksi di Pasar Modal (Adh-Dhawâbit asy-Syar‘iyah li at-Ta‘âmul fî Sûq al-Awraq al-Mâliyah), Penerjemah A. Syakur. Surabaya: Pustaka Progressif, 2004.
Tarban, Khalid Muhammad, Bay’u ad-Dayn Ahkâmuhu wa Tathbîquha al-Mu‘âshirah (Al-Azhar: Dar al-Bayan Al-’Arabi). Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2003.
Zuhdi, Masjfuk, Masâ’il Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: CV Haji Masagung, 1993.
Sumber Gambar: SoloPos