Recent Posts

Bolehkah Hukumnya dalam Islam, Menjual Barang yang Haram?

Bolehkah Hukumnya dalam Islam, Menjual Barang yang Haram atau halal, seperti miras, alkohol, kotoran, taik, babi, da....
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ، وَهُوَ بِمَكَّةَ [إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَاْلأَصْنَامِ]. فَقِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأْيْتَ شُحُوْمَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُوْدُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ. فَقَالَ: [لاَ، هُوَ حَرَامٌ]. ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذلِكَ [قَاتَلَ اللهُ الْيَهُوْدَ، إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُوْمَهَا جَمَلُوْهُ ثُمَّ بَاعُوْهُ فَأَكَلُوْا ثَمَنَهُ]

\Jabir bin Abdullah ra. mendengar Rasulullah saw. pada hari Fathu Makkah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan berhala.”  Lalu dikatakan, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan lemak bangkai; itu bisa untuk memoles perahu, melumuri kulit dan digunakan orang untuk penerangan?” Beliau bersabda, “Tidak. Itu haram.”  Kemudian Rasulullah saat itu saw. bersabda, “Semoga Allah membinasakan Yahudi. Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka melelehkan lemak itu, lalu mereka jual dan memakan harganya.” (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).

Hadis ini dicantumkan oleh Ibn Rajab al-Hanbali dalam kitabnya, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hadis ke-45, melengkapi Arba’un an-Nawawiyah menjadi 50 hadis.

Dalam hadis ini dengan jelas Allah dan Rasul saw. sudah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan berhala. Keempatnya adalah haram zatnya. Keharaman khamr ditegaskan dalam QS al-Maidah ayat 90. Khamr adalah semua minuman atau zat cair, yang banyak atau sedikitnya memabukkan, apapun nama dan bahannya.

Bangkai adalah hewan yang mati bukan dengan sembelihan secara syar’i. Haram pula hewan yang mati disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas—kecuali yang sempat kalian sembelih—yang disembelih untuk berhala  (QS al-Maidah [5]: 3).

Juga haram hewan buruan darat yang ketika melepaskan hewan pemburu terlatih, melepaskan panah, melempar tombak atau menembakkan peluru dan sebagainya, pemburu itu tidak menyebut asma Allah; atau hewan buruan yang mati oleh anjing pemburu yang tidak terlatih; juga termasuk bangkai, organ hewan yang diambil/dipotong ketika hewan itu masih hidup. Babi merupakan hewan yang sudah dikenal, baik piaraan/ternak maupun babi hutan/celeng.

Adapun al-ashnâm adalah segala benda yang dijadikan berhala/sesembahan, baik dalam bentuk patung makhluk yang bernyawa, patung makhluk imajiner, ataupun meski hanya berupa batu lonjong atau salib.

Keharaman menjual keempatnya karena benda itu telah diharamkan.  Hal itu ditegaskan dalam riwayat lain. Ibn Abbas menuturkan, Nabi saw. bersabda:

إنَّ الَذِيْ حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا

Sesungguhnya apa yang Allah haramkan untuk diminum, Dia haramkan pula untuk dijual (HR Muslim).

Rasul saw. juga bersabda dengan lafal yang mutlak. Ibn Abbas ra. menuturkan, Rasul saw. bersabda:

إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

Sesungguhnya Allah SWT, jika mengharamkan sesuatu, Dia juga mengharamkan harganya (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Hibban, al-Baihaqi, ath-Thabarani dan ad-Daraquthni).

Kedua hadis ini bersifat lebih mutlak dari riwayat Jabir di atas.  Riwayat Jabir itu hanya bagian dari cakupan kedua hadis ini. Kedua hadis Ibn Abbas ini bersifat mutlak mencakup segala yang diharamkan oleh Allah, termasuk keempat benda yang disebutkan dalam hadis Jabir. Dari dalil-dalil ini dan yang lainnya para ulama meng-istinbath kaidah fikih:

كُلُّ مَا حُرِّمَ (عَيْنُهُ) عَلَى الْعِبَادِ حُرِّمَ بَيْعُهُ ]

Semua yang (zatnya) diharamkan atas hamba, diharamkan pula penjualannya.

Sesuatu yang diharamkan oleh Allah, jika diperhatikan bisa dikategorikan lima golongan:
  1. (1) Sesuatu yang haram dimakan seperti daging babi, darah, binatang buas bertaring, bercakar dan berkuku tajam, dsb.
  2. (2) Sesuatu yang haram diminum seperti khamr, air kencing, nanah, dsb.
  3. (3) Sesuatu yang haram diambil/digunakan seperti berhala, termasuk Salib.
  4. (4) Sesuatu yang haram dimiliki seperti patung.
  5. (5) Sesuatu yang haram dibuat, misalnya lukisan makhluk bernyawa seperti manusia dan hewan.  Kelima benda yang diharamkan itu, haram pula dijual dan dimakan harganya.

Hadis Jabir di atas bisa saja dipahami oleh orang secara terbatas, bahwa yang haram hanya menjualnya, sementara memanfaatkannya tidak haram.  Itu pula yang agaknya terlintas pada diri sebagian sahabat.  Karena itu, ditanyakan kepada Rasul saw., bagaimana jika lemak bangkai itu digunakan untuk memoles perahu, melumuri/menyemir kulit atau untuk bahan bakar penerangan? Rasul saw. menjawab, “Tidak. Itu haram.”

Dari sini jelas, yang diharamkan bukan hanya penjualannya, namun seluruh bentuk pemanfaatan lainnya juga haram. Apa yang ada di dalam pertanyaan itu adalah contoh bentuk pemanfaatan lainnya itu.

Para ulama menjelaskan bahwa keempatnya (khamr, lemak bangkai, babi, berhala) diharamkan dan merupakan najis.  Dari sini, hadis Jabir di atas juga menunjukkan bahwa pemanfaatan najis dalam bentuk apapun adalah haram, kecuali yang dikhususkan oleh dalil.

Misal, untuk berobat; berobat dengan najis atau benda haram hukumnya makruh; kulit bangkai hewan ternak jadi suci dan bisa dimanfaatkan setelah disamak; daging bangkai boleh dimakan jika darurat untuk mempertahankan hidup; bentuk makhluk hidup boleh jika untuk boneka mainan anak-anak; dan pengkhususan lainnya. Semua pemanfaatan khusus itu dibolehkan sebatas kekhususan itu, bukan secara mutlak dan umum.

Lalu Rasul saw. menegaskan bahwa melakukan trik (hilah) agar zat yang diharamkan itu bisa dimanfaatkan dengan dalih tertentu adalah haram.  Rasul mencontohkan perilaku Yahudi, saat lemak bangkai diharamkan bagi mereka, mereka pun tidak memanfaatkannya secara langsung, namun mereka lelehkan/cairkan, baru lemak cair itu dijual dan hasil penjualannya mereka makan. Perilaku demikian adalah haram.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

[Yahya Abdurrahman]

Sumber gambar: Abu Dzakira's Blog

Apa Hukumnya Jual-Beli Ijon (Yang Belum Siap Dipanen), Halal atau Haram?

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ

Sesungguhnya Nabi saw. telah  melarang untuk menjual buah hingga mulai tampak kelayakannya (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).

Apa Hukumnya Jual-Beli Ijon (Yang Belum Siap Dipanen), Halal atau Haram dalam Islam?
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibn Hujrin; semuanya dari  Ismail bin Ja’far, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur Ahmad bin Utsman an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah. 

Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abdullah bin al-Harits, dari Siblun, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah, Ibn Umar dan Ibn Abbas.  An-Nasai meriwayatkannya dari Qutaibah bin Said, dari Sufyan dari az-Zuhri, dari Salim, dari Ibn Umar. 

Ibn Majah meriwayatkannya dari Hisyam bin ‘Amar, dari Sufyan, dari Ibn Juraij, dari ‘Atha’, dari Jabir bin Abdullah.

Defenisinya

Manthûq (makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah (ats-tsamar [hasil tanaman]) yang masih berada di pohonnya kalau belum mulai tampak kelayakannya. Sebaliknya, mafhûm al-mukhâlafah (pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan, dalam Islam boleh hukumnya menjual buah yang masih di pohonnya kalau telah mulai tampak kelayakannya.

Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya. Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan “hatta yathîba (hingga masak)” (HR al-Bukhari dan Muslim), atau “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i). Dalam riwayat yang lain, Jabir ra., menuturkan:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ فَقِيلَ وَمَا تُشْقِحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا

Nabi saw. melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ibn ‘Abbas menuturkan:
«نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يُؤْكَلَ مِنْهُ أَوْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَحَتَّى يُوزَنَ

Nabi saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan darinya atau orang bisa makan darinya dan hingga bisa ditimbang (HR al-Bukhari).

Jadi, batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual ialah kalau telah layak dimakan.  Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai dengan jenis buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ

Rasulullah saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual biji-bijian hingga sudah keras (HR Abu Dawud).

Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang, pepaya, dsb. 

Kalau telah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua, buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak kalau belum tampak tanda-tanda seperti itu buah dipetik maka tidak bisa masak. Buah-buahan jenis ini, kalau telah tampak tanda-tanda perubahan warna itu, yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski masih di pohonnya. 

Kedua, buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu, salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya.  Kalau telah seperti itu maka buah yang masih dipohonnya boleh dijual. Halal hukumnya. Batas tersebut bisa diketahui dengan mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.  

Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang panjang, dsb, yang sekiranya bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi.  Buah tanaman sejenis ini, andai bunga sudah berubah menjadi buah, sudah boleh dijual. Halal hukumnya dalam Islam. Adapun jenis biji-bijian, seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas, sudah boleh dijual ketika sudah keras. 

Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di kebun.  Hal itu sukar sekali. Sebabnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan.  Ketuaan dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi tua/masak. 

Karena itu, maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah kalau ada sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun yang belum. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis buah.  Misalnya kalau telah ada sebagian mangga yang masak maka semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual.

Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh dijual. Sekiranya ada ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik, maka semua jagung manis di kebun itu boleh dijual. Begitulah hukumnya dalam Islam, halal.

Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin, hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli.  Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
 
إِنْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ

Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal bagimu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta saudaramu tidak secara haq (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).

Tetapi, jika bencana itu bukan bencana cuaca seperti pencurian, kekeringan karena kerusakan pompa, gempa, banjir, kebakaran, dsb, maka penjual tidak harus melepaskan harganya. Bencana seperti itu tidak termasuk dalam cakupan makna hadis tersebut.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.

[Yahya Abdurrahman] 

Sumber gambar: Garama-Parraya

Apakah Praktek Gadai Syariah Itu Halal Hukumnya?

Apakah Praktek Gadai Syariah Itu Halal Hukumnya
Gadai syariah adalah produpak beru jasa gadai (rahn) yang diklaim dilaksanakan sesuai syariah, sebagai koreksi terhadap gadai konvensional yang haram karena memungut bunga (riba).

Gadai syariah berkembang pasca keluarnya Fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn, Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas, dan Fatwa DSN MUI No 68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tasjily. Sejak itu marak berbagai jasa gadai syariah, baik di Pegadaian Syariah maupun di berbagai bank syariah.
 
Aslinya gadai syariah itu tidak menghapus bunga, melainkan mengganti bunga itu dengan biaya simpan atas dasar akad ijarah (jasa). Jadi dalam gadai syariah ada dua akad:
  1. Pertama, akad rahn, yakni akad utang (qardh) oleh rahin (nasabah) kepada murtahin (bank/pegadaian syariah) dengan menggadaikan suatu harta tertentu sebagai jaminan utang.
  2. Kedua, akad ijarah, yaitu akad jasa di mana murtahin menyewakan tempat dan memberikan jasa penyimpanan kepada rahin.

Di Pegadaian Syariah, biasanya platfon utang yang diberikan paling banyak 90% dari nilai taksiran, dengan jangka waktu utang paling lama 4 bulan. Besarnya biaya simpan sejumlah Rp90 untuk setiap kelipatan Rp10.000 dari nilai taksiran per 10 hari. Ini sama dengan 0,9% per 10 hari = 2,7% per 30 hari = 10,8% per 120 hari (4 bulan).

Misalnya: Si Budi menggadaikan laptop kepada Pegadaian Syariah, dengan nilai taksiran Rp1.000.000. Plafon utang maksimal sejumlah 90% (Rp900.000). Biaya simpan Rp90 untuk setiap kelipatan Rp10.000 dari nilai taksiran per 10 hari, sama dengan 10,8% dari nilai taksiran untuk 120 hari.

Jika jangka waktu utang 4 bulan (120 hari), maka biaya simpannya sebesar =10,8% x Rp1.000.000 = Rp108.000. Jadi, ketika jatuh tempo jumlah uang yang harus dibayar Budsi sejumlah Rp900.000 + Rp108.000 = Rp1.008.000 (Yahya Abdurrahman, Pegadaian Dalam Pandangan Islam, hlm. 130-131).

Menurut yang telah kami teliti, gadai syariah ini adalah akad yang batil (tidak sah) dan haram hukumnya. Karena:

Pertama, terjadi penggabungan dua akad menjadi satu akad (multi akad) yang dilarang syariah, yaitu akad gadai (atau akad qardh) dan akad ijarah (biaya simpan). Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, bahwasanya Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. (HR Ahmad, hadis sahih).

Menurut Imam Taqiyuddin Nabhani, yang dimaksud “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” ialah adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau menggabungkan akad jual-beli dengan akad ijarah (Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/308).

Kedua, terjadi riba walaupun disebut dengan istilah “biaya simpan” atas barang gadai dalam akad qardh (utang) antara Pegadaian Syariah dengan nasabah. Padahal qardh yang menarik manfaat, baik berupa hadiah barang, uang, atau manfaat lainnya, adalah riba yang hukumnya haram.

Rasulullah SAW bersabda, ”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir). (Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/341).

Ketiga, terjadi kekeliruan pembebanan biaya simpan. Dalam kasus ini, dikarenakan pihak murtahin (pegadaian syariah) yang berkepentingan terhadap barang gadai sebagai jaminan atas utang yang diberikannya, maka seharusnya biaya simpan menjadi kewajiban murtahin, bukanlah kewajiban rahin (nasabah). (Imam Syaukani, As Sailul Jarar, hlm. 275-276; Wablul Ghamam ‘Ala Syifa` Al Awam, 2/178; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/51).

Sabda Rasulullah SAW, “Jika hewan tunggangan digadaikan, maka murtahin harus menanggung makanannya, dan [jika] susu hewan itu diminum, maka atas yang meminum harus menanggung biayanya.” (HR Ahmad, Al Musnad, 2/472). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hadis no 2301, hlm. 1090).

Berdasarkan tiga sebab di atas, gadai syariah yang ada sekarang baik di Pegadaian Syariah maupun di berbagai bank syariah, menurut penelitian kami ini, hukumnya haram dan tidak sah.

Wallahu ‘alam. 

(Ustadz Shiddiq  al Jawi)

Sumber gambar: BisnisEmas.net

Hukum Jual Beli Pesanan (Pre-Order) dalam Islam (Uangnya Diberi Dulu, Barang/Produknya Belakangan Nanti)

Hukum Jual Beli Pesanan Dalam Islam pre-order uang dulu barang nanti belakangan

As-Salaf asalnya katanya dari salafa–yaslufu–salfan; secara bahasa maknanya adalah berlalu, dulu atau taqaddama wa sabaqa (mendahului); juga bermakna al-qardh (utang).1 As-Salam secara bahasa memiliki banyak makna, diantaranya yaitu at-taqdîm wa at-taslîm (mendahulukan dan menyerahkan).2

Menurut al-Azhari, dalam konteks muamalah, as-salaf mempunyai dua arti: al-qardhu3 dan as-salam. 4 Arti yang kedua ini lebih dominan sehingga as-salaf adalah as-salam atau sebaliknya; bahkan dikatakan ini arti menurut seluruh ahli bahasa.5 

Hanya saja as-salaf lebih digunakan oleh orang Irak dan as-salam digunakan oleh orang Hijaz. Disebut as-salam karena penyerahan harga dilakukan di majelis akad. Para fukaha mengartikan as-salaf atau as-salam sebagai akad atas sesuatu dengan karakter (spesifikiasi) yang dijelaskan dan dijamin diserahkan belakangan dengan harga yang diserahkan di majelis akad.6 

Dalam Mu‘jam al-Lughah al-Fuqahâ’ dinyatakan bay’ as-salam (forward buying) adalah jual-beli yang barang (produknya) diserahkan nanti belakangan, tapi spesifikasinya dijamin dengan harga yang diserahkan di majelis akad.7
 
Dengan begitu, bay’ as-salam/bay’ as-salaf adalah jual-beli sesuatu yang dijelaskan karakter (spesifikasi)-nya yang dijamin diserahkan belakangan dengan sesuatu yang diserahkan seketika.8 Intinya, seseorang menyerahkan kompensasi seketika untuk suatu kompensasi yang dijelaskan spesifikasinya dan dijamin diserahkan belakangan, atau ia mendahulukan pembayaran harga suatu barang yang akan ia terima setelah tempo tertentu.9

As-salaf atau as-salam adalah jual beli yang disyariatkan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 281).

Ibn Abbas menceritakan, bahwa Nabi saw. tiba di Madinah dan masyarakat melakukan as-salaf pada buah-buahan satu atau dua tahun. Lalu Nabi saw bersabda:

مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ

Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu maka hendaknya dalam takaran dan timbangan yang jelas sampai tempo yang jelas. (HR Bukhari)

Ketentuan-Ketentuan as-Salam

As-Salam mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok):
  1. (1) shighat (ijab dan qabul);
  2. (2) al-‘âqidân (dua orang yang melakukan akad as-salam), yaitu orang yang memesan/pembeli (rabb as-salam) dan yang menerima pesanan/penjual (al-muslam ilayh); keduanya haruslah orang yang secara syar‘i layak melakukan tasharruf;
  3. (3) al-ma‘qûd ‘alayh (obyek akad), yaitu barang yang dipesan (al-muslam fîh) dan harga (ra’s mâl as-salam). Selain itu, ada syarat-syarat tertentu agar as-salam itu sah, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan al-muslam fîh dan ra’s mâl as-salam.

Syarat-syarat berkaitan dengan al-muslam fîh adalah: Pertama, Harus sesuatu yang bisa ditimbang (al-makîl), ditakar (al-mawzûn) ataupun dihitung (al-ma’dûd). Sebab, Allah melarang kita menjual sesuatu yang bukan milik kita atau belum sempurna kita miliki.10 As-Salam adalah jual-beli yang demikian, namun oleh nash dikecualikan dari larangan itu, sehingga larangan itu khusus berlaku pada yang lain.

Oleh karena itu, sesuatu yang boleh dilakukan as-salam haruslah yang dinyatakan oleh nash, yaitu harus sesuatu yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung. Syarat harus bisa ditakar dan ditimbang sesuai dengan teks hadis di atas. Adapun yang bisa dihitung karena hadis riwayat Bukhari –diantaranya dari Muhammad ibn Abi al-Mujalid, seperti hadis di bawah– membolehkan as-salam pada makanan.

Ibn al-Mundzir juga telah menukilkan adanya Ijmak Sahabat akan kebolehan as-salam pada barang/produk berupa makanan. Makanan itu dapat ditetapkan dengan ditakar, ditimbang atau dihitung. Hukum as-salam terkait dengan karakter ini. Dengan demikian, as-salam boleh dilakukan untuk sesuatu yang penetapannya dengan dihitung.

Kedua, selain harus bisa ditakar, ditimbang atau dihitung, al-muslam fîh itu harus jelas dan ditentukan jenisnya, misalnya kacang bogor, tahu sumedang, telur ayam ras, kain songket Lombok, dan sebagainya. Juga, harus ditentukan kadar takaran, timbangan atau hitungannya, misal sekian ton, liter, meter, buah, dsb. Semua itu harus berada dalam jaminan, artinya dijamin akan diserahkan dengan sifat-sifat (spesifikasi) seperti yang dijelaskan itu.

Ketiga, harus ada tempo yang jelas (diketahui) untuk penyerahan al-muslam fîh itu; misalnya sebulan, seminggu, tanggal sekian, dsb. Hal itu sesuai redaksi hadits di atas, dan karena adanya tempo itulah yang menjadikannya as-salam. Karena, kalau bayar kontan, maka bukan as-salam namanya, tapi jual-beli cash
Penjual tidak disyaratkan harus memiliki kebun, pohon, asal atau sumber al-muslam fîh. Muhammad ibn Abi al-Mujalid pernah bertanya kepada Abdullah ibn Abiy Awfa ra., dan Abdurrahman ibn Abza ra., apakah para sahabat melakukan as-salaf pada masa Nabi saw, Abdullah menjawab :

كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيْطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيْرِ وَالزَّيْتِ فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْم،ٍ قُلْتُ: إِلَى مَنْ كَانَ أَصْلُهُ عِنْدَهُ؟ قَالَ: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ، و قال عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صلى الله عله وسلم يُسْلِفُوْنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عله وسلم وَلَمْ نَسْأَلْهُمْ أَلَهُمْ حَرْثٌ أَمْ لاَ

Kami men-salaf hasil tetumbuhan penduduk Syam pada Gandum, Barley dan minyak dalam takaran yang jelas sampai tempo yang jelas. Aku (Muhammad) bertanya: “Kepada orang yang memiliki pohonnya?” Abdullah menjawab: “Kami tidak menanyakan hal itu”. Sedangkan Abdurrahman ibn Abza berkata: “Para sahabat Nabi saw melakukan as-salaf pada masa Nabi saw dan kami tidak menanyakan apakah mereka memiliki kebun atau tidak.” (HR. Bukhari)

Adapun syarat ra’s mâl as-salam (harga): Pertama, harus jelas jenis dan kadar/jumlahnya; atau jelas nominalnya jika uang. 

Kedua, pembayaran harganya harus diserahkan penuh atau semuanya pada saat akad di majelis akad, karena as-salaf dalam bahasa Arab adalah memberikan sesuatu pada sesuatu, yaitu membayarkan uang sebagai utang atas barang yang diambil (diterima) belakangan.

Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Imam asy-Syafii, tidak akan terpenuhi makna taslîf kecuali pembayarannya diberikan penuh (semuanya) pada saat akad di majelis akad sebelum keduanya berpisah.11 Siapa yang tidak memberikan pembayaran sesuatu yang ia pesan, maka itu bukan as-salam, melainkan janji akan memesan (wa’d bi an yuslifa). 

Jika hanya sebagian yang diserahkan, maka as-salam yang sah hanya pada kadar yang diserahkan itu, sementara yang belum diserahkan hanya berupa janji dan tidak mengikat. Jadi, yang harus dibayarkan bukan hanya DP (uang muka)-nya saja, tetapi pembayaran harganya secara penuh.  

Ketiga, tidak boleh terjadi ghabn fâkhisy (kecurangan harga; ada selisih yang tidak wajar/zalim). Harga itu ditentukan menurut harga pasar saat dilakukan akad.

Terjadinya ghabn fâkhisy harus memenuhi dua syarat:
  1. (1) adanya ketidaktahuan pihak yang dicurangi; dan
  2. (2) selisih yang tidak wajar/zalim sesuai penilaian para pedagang. Jika terjadi hal itu maka yang dicurangi boleh memilih antara menerimanya dan tetap melanjutkan akad atau membatalkan akad dan meminta kembali harganya seperti yang diserahkan saat akad. Ia tidak boleh hanya mengambil selisihnya saja.

Kalau ketika jatuh tempo jenis barang yang dipesan tidak ada atau kadarnya kurang, maka pembeli (pemesan/rabb as-salam) hanya boleh mengambil kembali harga yang ia bayarkan saat akad. Ia tidak boleh mengambil lebih dari itu dengan alasan kompensasi, denda atau lainnya.

Kalau dia mengambil uang lebih dari itu, artinya ia mengambil uang yang diutangkan dengan tambahan dan itu adalah riba. Ia pun tidak boleh mengambil pengganti barang yang lain. Itu artinya ia telah mengakadkan akad baru, yaitu ia menjual barang yang belum ia terima dengan barang lain.12 Dengan kata lain, ia telah melakukan bay’atayn fî bay’ah (dua jual beli dalam satu transaksi) dan itu adalah haram. Di samping itu, Nabi saw. juga telah bersabda:

مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَلاَ يَصْرِفْهُ إِلَى غَيْرِهِ

Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu, janganlah mengalihkannya ke yang lain (HR Abu Dawud)

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.  

[Yahya Abdurrahman]

Catatan Kaki:
1 Lihat: Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, 9/158, Dar Shadir, Beirut, cet. i. tt
2 Lihat: al-Jurjani, at-Ta’rifât, 1/160, Dar al-Kitab al-’Arabi, Beirut, cet. i. 1405
3 Yaitu utang dimana tidak ada manfaat tambahan bagi pemberi utang dan orang yang berutang wajib mengembalikannya sama seperti yang dia utang. Lihat: Al-Fayrus al-Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, 2/391; Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, 4/287
4 Lihat: al-Jauhari, ash-Shihâh fî al-Lughah, 1/327; Ash-Shahib ibn ‘Ibad, al-Muhîth fî al-Lughah, 2/265; ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, 1/131, Maktabah Lubnan Nashirun, Beirut, cet. baru. 1995-1415
5 Al-Qâmûs al-Fiqh, 1/180, CD al-Maktabah asy-Syamilah, al-ishdar ats-tsani
6 Lihat: Khalid ibn Rasyid as-Sa’idan, Qawâ’id al-Buyû’ wa Farâ’id al-Furû’, hlm. 91
7 Lihat: Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, 1/249, CD al-Maktabah asy-Syamilah al-ishdar ats-tsani
8 Lihat: Yusuf as-Sabatin, al-Buyû’ al-Qadîmah wa al-Mu’ashirah wa al-Bûrushât al-Mahaliyah wa ad-Dualiyah, hal. 67-dst., Dar al-Bayariq, cet. i. 2002
9 Lihat: an-Nabhani, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, 2/292-296, min mansyurat Hizb at-Tahrir, Beirut, cet. v (mu’tamadah). 2003
10 Sabda Nabi saw.: “Lâ tabi’ mâ laysa ‘indaka (Janganlah engkau menjual apa yang bukan milikmu)” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ibn Hibban)
11 Lihat: Al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsâr, 9/457, Dar al-Wafa’, Mesir. 1412
12 Ini jelas dilarang sesuai hadis footnote no. 10, dan sabda Rasul, “Siapa yang membeli makanan maka jangan ia jual hingga ia menerimanya.” (HR. Bukhari) dan hadis-hadis senada lainnya.
Sumber gambar: CreasionBrand

Hukum Islam Soal Mendapatkan Royalti Buku Sebagai Penulis


Hukum Islam Soal Mendapatkan Royalti Profit untung Buku Sebagai Penulis

Fakta Pendapatan Royalti Buku

Royalti buku adalah pembayaran yang diberikan oleh penerbit kepada penulis buku berupa persentase tertentu dari harga jual buku dalam periode tertentu. 

Sebagai contoh, penerbit bersepakat memberi royalti sebesar 10% dari harga jual buku sebesar Rp30.000 yang dicetak sebanyak 5.000 eksemplar pada cetakan pertama. Maka royalti yang diterima penulis buku besarnya adalah 10% (besaran royalti) dikali Rp30.000  (harga jual buku) = Rp3.000 per eksemplar buku.

Kemudian dikalikan 5.000 eksemplar (jumlah cetak) sehingga hasilnya adalah Rp15.000.000 (lima belas juta rupiah). Jumlah ini dikurangi pajak sebesar 15%, sehingga royalti bersih yang diterima penulis sebesar Rp12.750.000 (dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Hukumnya Dalam Islam

Menurut yang kami teliti, sistem royalti buku seperti ini tidak sah (fasad) secara syar’i. Sebab bertentangan dengan cara pembagian hasil dalam hukum syirkah Islami, khususnya syirkah mudharabah, dalam dua aspek.

Pertama, dalam sistem royalti buku, pembayaran yang diterima penulis buku sudah diketahui nominalnya dalam jumlah rupiah yang tertentu, walaupun dinyatakan dalam persentase. Bagi hasil yang demikian ini dalam hukum syirkah Islami tidak dibolehkan dan mengakibatkan syirkah menjadi fasad.

Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, mengutip Imam Ibnul Mundzir yang menyebutkan adanya kesepakatan ulama (ijma’) bahwa akad qiradh (mudharabah) hukumnya tidak sah jika salah satu atau atau kedua belah pihak dalam akad mudharabah mensyaratkan bagi hasil dalam jumlah dirham yang tertentu. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 4/851; Ibnul Mundzir, Al Ijma’, no 529, hlm. 40; Ibnu Hazm, Maratibul Ijma’, hlm. 90, Abdul Aziz Al Khayyath, Al Syarikat fi Al Syari’ah Al Islamiyyah wa Al Qanun Al Wadh’i, 1/169).

Kedua, dalam sistem royalti buku jumlah pembayaran yang diterima penulis buku dinyatakan dalam persentase dari harga jual buku, misalnya 10% dari harga jual buku sebesar Rp30.000. Ini bertentangan dengan hukum syirkah dalam Islam, sebab jumlah pembayaran yang diterima dalam syirkah mudharabah seharusnya dinyatakan dalam persentase dari laba (profit), bukan persentase dari harga barang dagangan (dalam hal ini buku). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 4/850; Abdul Aziz Al Khayyath, Al Syarikat fi Al Syari’ah Al Islamiyyah wa Al Qanun Al Wadh’i, 1/169 dan 2/65; AAOIFI, Shari’a Standards, 2002, hlm. 233).

Berdasarkan dua alasan di atas, maka jelaslah bahwa secara syar’i royalti buku hukumnya tidak sah (fasad) dan termasuk mudharabah yang fasad. Jika mudharabah fasad ini sudah terlanjur terjadi dan menghasilkan laba, maka keseluruhan labanya menjadi hak penerbit buku saja. Sebaliknya jika rugi maka seluruh kerugiannya ditanggung hanya oleh penerbit buku.

Adapun penulis buku, berhak mendapatkan ajrul mitsil, tanpa melihat lagi apakah muamalah ini rugi atau untung. Ajrul mitsil merupakan kompensasi yang semisal, yaitu pembayaran yang umumnya diterima oleh penulis buku untuk semisal buku yang dia tulis. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, bab Hukm Al Mudharabah Al Fasidah, 4/851-852).

Terus, Adakah Pendapatan Royalti yang Halal?

Alternatif syar’i untuk royalti buku adalah mengamalkan mudharabah yang sah, yaitu menjadikan buku sebagai modal syirkah dan bagi hasil bagi penulis buku dinyatakan dalam persentase dari profit, bukan persentase dari harga jual buku, berdasarkan kesepakatan dengan penerbit, misalnya 30% keuntungan untuk si penulis buku dan 70%-nya lagi untuk pihak penerbit.

Buku sebagai barang dagangan (‘uruudh) pada dasarnya tidak boleh dijadikan modal dalam mudharabah, kecuali jika buku itu dinilai dulu ke dalam sejumlah nominal uang (taqwiim) pada saat akad maka hukumnya boleh. Kerugian ditanggung berdasarkan porsi modalnya masing-masing. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 150 & 154).

Alternatif syar’i lainnya adalah sistem jual-putus (disebut juga flat atau outright), yaitu pihak penerbit membayar penulis buku berdasarkan negosiasi dengan pihak penerbit, dengan satu kali pembayaran yang tidak dihubungkan dengan harga jual buku atau cetak ulang.

Wallahu a’lam

(Ustadz Siddiq al Jawie)

Sumber gambar: @GramediaPKU

Hukum Pembayaran dengan Balance PayPal dalam Islam, Halalkah?

Hukum Pembayaran Via PayPal dalam Islam, Halal dan bolehkah? Atau Haram?

Fakta PayPal

PayPal adalah nama sebuah perusahaan yang berpusat di San Jose, California (AS), yang notabene menyelenggarakan jasa perantara pembayaran dan transfer uang secara elektronik (online) dalam cakupan internasional.

PayPal juga menyediakan jasa untuk para pemilik situs e-commerce, lelangan, dan jenis usaha lain. PayPal melayani transaksi secara global di banyak negara dengan berbagai macam mata uang (currency). (http://en.wikipedia.org/wiki/PayPal).

Untuk dapat menggunakan jasa PayPal, seseorang harus mendaftar atau membuat akun Paypal secara online, yang harus diaktivasi melalui konfirmasi e-mail. Pendaftaran ini sifatnya gratis. Setelah mempunyai akun Paypal, seseorang sudah dapat melakukan pembayaran atau penerimaan uang melalui PayPal, tapi sifatnya terbatas, yaitu maksimal $100 US (seratus dolar AS) saja.

Untuk transaksi di atas $ 100 US, seorang pemilik akun PayPal harus mempunyai dana saldo (balance) yang terhubung dengan PayPal, bisa berupa rekening bank lokal (Indonesia), misalnya BCA, berupa kartu kredit, atau berupa VCC (Virtual Credit Card), yaitu kartu kredit virtual yang dapat dibeli secara online dari penyedia VCC dengan harga tertentu (sekitar Rp75.000 hingga Rp100.000) dengan masa berlaku ada yang 1 tahun, sampai ada yang beberapa tahun. Untuk tiap transaksi pembayaran atau transfer, PayPal memungut fee (uang jasa) dari para penggunanya dalam jumlah tertentu.

Hukumnya dalam Islam?

Setelah mempelajari manath (fakta hukum) PayPal di atas, menurut kami pada dasarnya hukumnya mubah membayar atau mentransfer uang melalui PayPal, dengan syarat transaksinya hanya melibatkan satu jenis mata uang (currency) saja.

Kalau melibatkan dua jenis mata uang, contohnya seseorang di Indonesia membeli buku di Amazon.com dalam mata uang dolar, sementara dia hanya mempunyai mata uang rupiah dalam saldonya (balance), maka hukumnya haram. Dana saldo (balance) juga harus disimpan/dimiliki oleh pihak pembeli secara sah menurut syariah, karena haram hukumnya menyimpan/memiliki saldo di rekening bank lokal konvensional atau dalam kartu kredit.

Bolehnya menggunakan PayPal sebagai perantara pembayaran atau transfer, didasarkan pada bolehnya akad wakalah bil ujrah (perwakilan dengan upah/fee). PayPal dapat dikategorikan sebagai wakil dari pembeli atau pengirim uang untuk melakukan pembayaran atau tranfer uang kepada pihak penjual atau penerima uang di luar negeri.

Jadi dalil bolehnya PayPal adalah dalil umum yang membolehkan akad wakalah dengan upah. Syaikh Wahbah Zuhaili berkata, ”Wakalah hukumnya sah baik dengan upah maupun tanpa upah. Sebab Nabi SAW dulu pernah mengutus para amilnya untuk menerima zakat dan memberikan upah kepada mereka.” (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 5/691).

Namun jika pembayaran atau transfer via PayPal melibatkan dua jenis mata uang, hukumnya haram. Karena dalam transaksi ini telah terjadi penggabungan dua akad dalam satu akad. Dua akad itu adalah akad wakalah dan akad penukaran mata uang (sharf, currency conversion). Ini haram berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud RA, dia berkata, ”Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin wahidah).” (HR Ahmad, Al Musnad, 1/398).

Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, yang dimaksud dua kesepakatan dalam satu kesepakatan adalah adanya dua akad dalam satu akad (wujuudu ‘aqdaini fi aqdin wahidin). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah al Islamiyyah, 2/305).

Para pengguna PayPal haram hukumnya menyimpan/memiliki saldo (balance) di rekening bank lokal konvensional atau dalam kartu kredit. Sebab mereka akan terlibat bunga yang merupakan riba yang diharamkan.

Tetapi, kalau para pengguna PayPal itu menggunakan jasa Paypal, hukumnya tetap sah, meski mereka berdosa besar karena terlibat riba. Hal ini karena syarat yang batil dalam suatu akad yang sah, tidak mempengaruhi keabsahan pokok akad itu sendiri. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/53).  

Wallahu a’lam

(Ustadz Shiddiq al Jawie)

Sumber gambar: Entrepreneur.com

Apa Hukumnya Jual-Beli Kredit Dalam Islam? Bolehkah?

Apa Hukumnya Jual-Beli Kredit Dalam Islam? Bolehkah?

Al-Bay’ (jual-beli) secara bahasa defenisinya adalah pertukaran, sedangkan secara syar‘i bermakna: mubâdalah mâl[in] bi mâl[in], tamlîk[anl wa tamalluk[an] ‘alâ sabîl at-tarâdhî (pertukaran harta dengan harta lain dalam bentuk penyerahan dan penerimaan pemilikan [pertukaran dan pemindahan pemilikan] berdasarkan kerelaan kedua pihak.

Jual-beli terbagi menjadi 3 bentuk.
  1. Pertama: jual-beli tunai; barang dan harga diserahterimakan pada saat akad.
  2. Kedua: jual-beli salaf atau salam (pesanan); harga dibayar pada saat akad, sedangkan barang diserahkan setelah tempo tertentu.
  3. Ketiga: jual-beli kredit, barang diserahkan pada saat akad, sedangkan harganya dibayar setelah tempo tertentu, baik sekaligus atau dicicil. Bentuk ketiga inilah yang disebut jual-beli kredit (al-bay’ bi ad-dayn wa bi at-taqsîth).

Syariah membolehkan jual-beli secara kredit. Dasarnya adalah QS al-Baqarah ayat 282. Aisyah ra. Juga meriwayatkan: Nabi saw. pernah membeli makanan kepada seorang Yahudi sampai tempo tertentu dan Beliau menggadaikan baju besinya. (HR al-Bukhari).

Aisyah ra. Juga menuturkan bahwa Barirah ra. pernah membeli (membebaskan) dirinya sendiri dari tuannya seharga sembilan awqiyah yang dibayar satu awqiyah setiap tahun (HR al-Bukhari dan Muslim). Kejadian tersebut diketahui oleh Rasul dan beliau mendiamkannya. Hal itu menunjukkan kebolehan jual-beli secara kredit dengan cara dicicil.

Beberapa Ketentuan

Jual-beli kredit memiliki tiga rukun:
  1. (1) Al-‘Aqidân, yaitu dua orang yang berakad. Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukan tasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz.
  2. (2). Shighât (ijab-qabul).
  3. (3) Mahal al-’aqd (obyek akad), yaitu al-mabi’ (barang dagangan) dan ats-tsaman (harga).

Di samping ketiganya juga terdapat syarat-syarat terkait dengan al-mabî’ (barang dagangan) dan harga. Al-Mabî’ itu harus:
  • Sesuatu yang suci
  • Tidak najis
  • Halal dimanfaatkan
  • Adanya kemampuan penjual untuk menyerahkannya
  • Harus ma‘lûm (jelas)
  • Tidak majhul.
  • Jika barang dagangannya berupa tamar (kurma), sa’îr (barley), burr (gandum), dzahab (emas), fidhah (perak), atau uang, dan milh (garam) maka tidak boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit. Rasul saw. bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah sesuka kalian selama dilakukan secara tunai. (HR Muslim).

Artinya, tidak boleh menjual emas, perak, garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit. Di samping itu al-mabî’ (barang dagangan) tersebut haruslah milik penjual atau si penjual memang memiliki hak untuk menjualnya, misal sebagai wakil dari pemiliknya. Rasul saw. bersabda:
 
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).

Jual-beli kredit ini tidak seperti as-salaf atau as-salam (pesanan) yang dikecualikan dari larangan tersebut. Jadi, barang yang dijual secara kredit itu haruslah sempurna milik si penjual. 

Jika barang itu sebelumnya dia beli dari pihak lain maka pembelian itu harus sudah sempurna, yaitu harus sudah terjadi perpindahan pemilikan atas barang itu secara sempurna dari pihak lain itu kepadanya. Artinya, barang itu telah sempurna dia miliki, baru ia sah untuk menjualnya secara kredit.

Ketentuan seperti ini menjadi salah satu titik kritis dalam muamalah al-murâbahah li al-âmir bi asy-syirâ’—sering disebut murabahah saja—dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil, atau yang sejenis.1
Supaya akad jual-beli kredit itu sempurna, harus terjadi perpindahan pemilikan atas al-mabî’ itu dari si penjual kepada si pembeli.

Kalau al-mabî’ itu termasuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd, al-makîl wa al-mawzûn) maka harus terjadi serah terima (al-qabdh). Jika bukan yang demikian maka tidak harus terjadi al-qabdh, melainkan begitu selesai ijab dan qabul, terjadilah perpindahan pemilikan atas al-mabî’.  

 Intinya, pemilikan si pembeli atas barang yang dia beli akan sempurna kalau tidak ada lagi penghalang baginya untuk men-tasharruf barang tersebut, baik dijual, disewakan, dikonsumsi, dihibahkan dan sebagainya.

Adapun harga dalam jual-beli secara kredit dibayar setelah tempo tertentu, artinya merupakan utang (dayn), baik dibayar sekaligus ataupun dicicil. Kebolehan itu sesuai dengan hadis Barirah dan hadis tentang jual-beli secara kredit yang dilakukan Nabi saw. dengan seorang Yahudi di atas.

Seseorang boleh menawarkan barangnya dengan dua harga, harga tunai dan harga kredit—biasanya lebih tinggi dari harga kontan. Hal itu karena Rasul saw. pernah bersabda:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya jual-beli itu hanyalah dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli) (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Jadi, seorang penjual berhak menjual barang dengan harga yang ia ridhai dan menolak jual-beli dengan harga yang tidak ia ridhai. Ia berhak menetapkan atas barangnya dua harga, harga tunai dan harga kredit yang lebih tinggi dari harga tunai.

Begitu pula pembeli berhak melakukan tawar-menawar pada harga yang ia ridhai, baik tunai ataupun kredit. Tapi, adanya dua harga itu hanya boleh terjadi dalam tawar-menawar. Sebaliknya, dalam akad/transaksi yang disepakati dalam jual-beli, harus satu harga.

Misal, boleh saja si A mengatakan, “Barang ini harganya tunai Rp 100 ribu, kalau kredit sebulan 110 ribu.” Jika si B berkata, “Saya beli kredit satu bulan 110 ribu.” Maka jual-beli itu sah. Boleh. Karena, meski penawarannya ada dua harga, tetapi akadnya hanya satu harga. Artinya, jual-beli itu terjadi dalam satu harga saja. Ini berbeda jika si B mengatakan, “Oke, saya setuju,” atau, “Oke, saya beli.” Dalam kasus ini, jual-belinya tidak sah, karena yang disepakati dalam akad berarti ada dua harga, dan Rasul melarangnya. Ibn Mas‘ud mengatakan: 

نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

Rasulullah saw. telah melarang dua transaksi dalam satu akad (HR Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani).

Jika telah disepakati jual-beli secara kredit dengan harga tertentu, misal kredit sebulan harga Rp 110 ribu, lalu saat jatuh tempo pembeli belum bisa membayarnya, kemudian disepakati ditangguhkan dengan tambahan harga, misal sebulan lagi namun dengan harga Rp 120 ribu; atau misal sudah disepakati jual-beli tunai dengan harga Rp 100 ribu, lalu pembeli meminta ditangguhkan sebulan dan penjual setuju dengan harga menjadi Rp 110 ribu, maka kedua contoh ini dan semisalnya tidak boleh.

Sebab, berarti telah terjadi dua jual-beli dalam satu barang atau satu jual-beli (bay’atayn fî al-bay’ah). Abu Hurairah berkata:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Rasulullah saw. telah melarang dua jual beli dalam satu jual-beli (HR Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban).

Jika terjadi kasus tersebut, lalu bagaimana? Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوْ الرِّبَا

Siapa saja yang menjual dengan dua jual-beli maka baginya harga yang lebih rendah atau riba (HR Abu Dawud).

Jadi, jika terjadi kasus tersebut, jual-beli itu tetap sah, namun dengan harga yang lebih rendah, yaitu harga awal. Jika dengan harga lebih tinggi maka selisihnya dengan harga awal adalah riba.

Ada jenis jual-beli kredit lain yang dilarang dan hukumnya haram. Misal: A menjual motor kepada B secara kredit satu tahun dengan harga Rp 11 juta, lalu B menjual lagi motor itu kepada A secara tunai seharga Rp 10 juta. Sehingga A menyerahkan Rp 10 juta kepada B dan setahun lagi akan mendapat Rp 11 juta dari B. Jual-beli yang seperti inilah menurut para fukaha dinamakan al-bay’ al-‘înah.  

Dalam hal ini Rasul saw. bersabda:

إذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَتَبَايَعُوا بِالْعِينَةِ، وَاتَّبَعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَتَرَكُوا الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللهِ، أَنْزَلَ اللهُ بِهِمْ ذُلاًّ، فَلَمْ يَرْفَعْهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُرَاجِعُوْ دِينَهُمْ

Jika manusia bakhil dengan dinar dan dirham, berjual-beli secara al-‘înah, mengikuti ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah menurunkan atas mereka kehinaan, Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari mereka hingga mereka kembali pada agama mereka (HR Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).

Wallâh a‘lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

Catatan kaki:
 
1 Masalah murabahah li al-âmir bi asy-syirâ’ (murabahah) dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil dan muamalah semisalnya, perlu pembahasan tersendiri secara lebih rinci.

Sumber Gambar: DandysMainLife